Anak Bulan
Tepat jam 10 malam, aku
masuk ke kamar. Kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Lampu tidur mulai ku
redupkan. Entah kenapa, saat aku hendak memejamkan mata tiba-tiba saja aku
teringat dengan perkataan Lusi tadi siang di sekolah. Perkataan Lusi itu
benar-benar membuat jantungku hampir kehilangan tenaga untuk berdetak. Awalnya
aku acuh dengan perkataan Lusi yang terkesan aneh itu. Tapi, aku tidak bisa
melupakannya dan malah membuatku gelisah sekarang.
Saat itu, tepatnya saat
jam istirahat, di kelas aku duduk di bangku paling depan dekat dengan jendela
disebelah kiriku. Jendela kelasku berbeda dari jendela-jendela yang ada di
ruangan-ruangan sekolah. Ukuran jendela kelasku cukup tinggi tapi tidak terlalu
lebar. Tingginya dua kali dari tinggi ku. Hanya sebuah gorden yang menutupinya.
Jika aku bosan saat guru mengajar, aku bisa melihat keluar jendela. Dari sana,
aku bisa melihat taman sekolahku. Ada beberapa pohon mangga dengan buahnya yang
hampir masak. Dibawah pohon, terdapat bangku yang melingkarinya.Teman-temanku
biasanya duduk disana saat jam istirahat. Berbeda denganku yang biasa
menghabiskan jam istirahat didalam kelas.
“Del!” panggil Lusi.
“Kamu gak mau keluar?
Keluar yuk! Kita ambil mangga,” ajak Lusi sambil menunjuk pohon mangga yang
buah-buahnya sudah hampir masak.
“Enggak ah, aku disini
aja.”
“Ih, gak bosen apa di
kelas mulu. Astaga, jangan-jangan kamu anak bulan ya?”
“Apa?”
“Iya. Kamu inget gak
sih cerita anak bulan?”
“A-nak bu-lan?” Aku mengernyitkan
dahi tanda tidak mengerti apa yang dibicarakan Lusi padaku. Dia menarik napas
dalam-dalam kemudian mulai bercerita.
Bedasarkan cerita Lusi,
dikabarkan dahulu kala ada seorang Puteri Bulan yang pergi ke bumi kemudian
bertemu dengan seorang lelaki. Kemudian mereka menikah dan dikaruniai seorang
anak perempuan. Akibat dari pernikahannya dengan Puteri Bulan, lelaki itu harus
pergi untuk tinggal di bulan, sementara Puteri Bulan menetap di bumi. Mereka
dipisahkan selamanya dan tidak akan pernah bersama lagi. Penderitaan mereka
tidak hanya sampai disitu, puteri mereka yang tinggal di bumi selalu merasa
kesepian meskipun dia hidup dikerumunan banyak orang sekalipun.
Huh, entahlah.
Terkadang aku berpikir apa mungkin aku adalah anak dari puteri bulan. Ah, tidak
mungkin. Itu kan hanya cerita masa lalu. Belum tentu juga kebenarannya. Tapi,
selama ini aku sering melihat Bunda duduk di halaman belakang saat malam hari
dan memandangi bulan. Aku juga selalu merasa kesepian dan sampai saat ini aku
belum pernah bertemu dengan Ayah. Aku pernah bertanya pada Bunda tentang Ayah.
Tetapi Bunda hanya tersenyum dan menjawab kalau Ayah sedang ada tugas negara.
“Kayak udah pagi aja nih,” tiba-tiba mataku
mulai merasakan silau. Dengan malas aku menggeliat di kasur. Tiba-tiba..
“UDAH PAGI!” Aku
langsung beranjak bangun lalu keluar kamar menuju kamar mandi. Karena
tergesa-gesa aku ke kamar mandi sampai lupa bawa handuk sehingga aku harus
balik lagi ke kamar untuk mengambil handuk.
“Kenapa harus buru-buru
begitu ke kamar mandinya?” tanya Bunda yang mulai khawatir dengan tingkahku.
“Udah kesiangan, Bun,”
jawabku sambil berlari ke kamar mandi.
“Ini kan tanggal merah,
Del. Gak akan ada yang kesiangan,” kata Bunda sambil mengoleskan selai kacang.
Segera wajahku memerah karena menahan malu.
“Nih, sarapan dulu,”
perintah Bunda sambil memasang ekspresi terbaiknya. Bundaku terlihat sangat
manis saat memasang ekspresi terbaiknya itu. Bibirnya merah muda. Pipinya merah
semu. Giginya putih seperti susu. Tanpa make up. Semuanya alami tanpa sentuhan
apapun. Benar-benar layaknya seorang puteri.
“Bunda pernah gak
dengar cerita soal Anak Bulan?” tanyaku kemudian melahap roti selai kacang
buatan bunda. Kali ini ekspresi bunda terlihat aneh dan itu bukanlah ekspresi
terbaiknya lagi.
“Anak Bulan? Apa itu
cerita kartun?” kata Bunda yang tampaknya terkesan aneh dengan dua kata itu.
Tiba-tiba Bunda tertawa geli kemudian ia menarik kursi disebelah kananku dan
duduk disana.
“Katakan pada Bunda.
Apa kau berpikir bahwa Bunda adalah seorang Puteri dari Bulan? Lalu kau puteri
Bunda, Delima adalah anak dari Puteri Bulan?” tanya Bunda tersenyum sambil
membelai rambutku. Aku tercengang oleh perkataan Bunda. Rotinya tidak ku lahap
lagi. Batinku, bagaimana Bunda bisa tahu apa yang aku pikirkan.
“Itu karena aku
Bundamu. Tidak ada orang yang lebih mengerti seorang anak selain Bundanya.
Delima harus ingat itu ya,” nasehat Bunda sambil menyentil hidungku.
“Jadi, Bunda bukan ...”
“Tapi, kalau Delima mau
menganggapnya begitu, Bunda rasa tidak masalah,” ucap Bunda yang langsung
memotong ucapanku. Seolah-olah Bunda sudah mengerti apa yang akan aku ucapkan.
Setelah mendengar
perkataan Bunda tadi, lantas aku berpikir siapapun Bundaku dan bagaimana
asal-usul ku aku tetap anak Bunda. Puteri Bunda. Huh, betapa konyolnya aku bisa
berpikir seperti itu. Itu kan hanya cerita masa lalu. Belum tentu juga
kebenarannya. Lagi pula, mana ada yang namanya Puteri Bulan. Rasanya aku ingin
menepuk jidatku sendiri karena pikiran dan pertanyaanku yang terlalu
kekanak-kanakan itu.
“Um, Delima minta maaf
ya, Bun,” kataku sambil tertunduk ragu karena malu. Bunda hanya mengangguk
kemudian tersenyum. Ia beranjak dari ruang makan dan pergi menuju dapur.
Kupandangi Bundaku yang berjalan bagaikan seorang puteri. Dalam hati, aku
berjanji pada diriku sendiri untuk selalu berpikir secara rasional.
Casino & Hotels - Mapyro
BalasHapusExplore 1 Mapyro Casino Hotel, Cabazon 용인 출장샵 County, CA. Get directions, reviews and 하남 출장마사지 information 오산 출장안마 for 제천 출장샵 Casino & Hotels in Cabazon County, CA. 인천광역 출장샵